Entri Populer

Senin, 25 April 2011

Sejarah Pendidikan Islam Dinasti Kecil pada Masa Dinasti Abbasiyah


SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DINASTI – DINASTI KECIL
PADA MASA DINASTI ABBASIYAH
OLEH: MUCH RIKHAN FUADI

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Sejarah Pendidikan Islam adalah sejarah panjang yang seringkali terlupakan oleh umat Islam sendiri. Kecenderungan pembahasan sejarah Islam seringkali berhubungan dengan darah dan pedang untuk perluasan wilayah dan takluk-menaklukan. Mulai dari masa kenabian Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, persepsi tentang kekerasan dan Islam susah dipisahakan. Lain dari pada itu ada hal-hal penting dan besar yang dapat menginpirasi dan bahkan dapat merekonstruksi budaya dan perkembangan peradaban yang ada saat ini sehingga memunculkan sesuatu yang lebih baik (Islami) adalah pendidikan. Sejarah pendidikan yang dialami oleh umat Islam selalu tidak dapat dipisahakan dari para penguasa. Perhatian terhadap pendidikan umat Islam pada abad pertengahan sebagai satu fase fundamental dalam kemajuan pendidikan di Barat (Eropa Barat dan Amerika) sangat diabaikan dalam beberapa literatur tentang sejarah pendidikan dewasa ini.
Kekuasaan Islam berkaitan erat dengan kekuasaan religi (pemimpin plitik yang sekaligus sebagai pemimpin agama), dan anggapan bahwa penguasa adalah perpanjangan tangan Tuhan adalah diakui oleh beberapa pihak. Pada masa awal, Islam terkonsentrasi pada Nabi Muhammad SAW selain sebagai utusan, Nabi Muhammad SAW juga sebagai pemimpin politik dan militer. Penguasa Islam selanjutnya adalah Khulafaur Rasyidun, kemudian diteruskan oleh penguasa-penguasa monarki yaitu Dinasti Ummayah, Dinasti Abbasiyah, Tiga Dinasti Kecil (Dinasti Usmani di Turki, Dinasti Shafawiyah di Persia, dan Mughal di India). Dinasti Usmaniyah yang terakhir dan paling lama berkuasa hingga struktur pemerintahan Turki di ubah kedalam bentuk Republik oleh Musthafa Kemal Pasha, dan praksis kekuasaan Islam terpecah-pecah dengan campur tangan kolonialis.
Pengaruh penguasa terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan sangat erat dan saling berkaitan dari masa awal hingga masa kini. Namun, pada kesempatan kali ini penulis hanya akan mencoba mengulas perkembangan sejarah pendidikan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Pun, Dinasti Abbasiyah memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas sehingga praktis secara politik kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang terpusat di Baghdad adalah pemerintahan pusat Islam ketika itu yang mendapat pengakuan dari provinsi-provinsi di bawah kekuasaanya. Kekuasaan para khalifah pada masa Dinasti Abbasiyah terlihat dari setiap khutbah jum’at yang selalu menyebut nama khalifah yang berkuasa. Pemberian upeti (pajak) tahunan juga merupakan ciri bentuk pengakuan provinsi (dinasti kecil) terhadap pemerintah pusat. Sehingga hal-hal yang menyangkut kebijakan sering merupakan wewenang pemerintah provinsi (dinasti kecil). Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah.
Dinasti-dinasti kecil (provinsi) yang berada dibawah pemerintahan pusat Dinasti Abbasiyah di Baghdad antara lain adalah: (1). Dinasti Aghlabiyah (184-296 H./800-909 M.) yang wilayah kekuasanya meliputi daerah Tunisia, Afrika Utara; (2). Dinasti Samaniyah (209-395 H./819-1005 M.) dengan wilayah kekuasaan meliputi wilayah Persia; (3). Dinasti Thahiriyah (205-259 H./821-873 M.) dengan Naishapur sebagai ibukota dan wilayah kekuasaan yang meliputi Khurasan; (4). Dinasti Shafariyah (253-298 H./867-911 M.) Dinasti ini berpusat di Sijistan, salah satu propinsi yang terletak di Persia; (5). Dinasti Murabithun (448-541 H./1056-1147 M.) Murabithun pada awalnya merupakan gerakan hasrat akan keagamaan ditengah-tengah suku Barbar cabang Sanhajjah di Sudan Barat; (6). Dinasti Muwahhidun (524-667 H./1130-1269 M.) Al-Muwahhidun pada awalnya merupakan gerakan keagamaan yang berkuasa di Maroko dan Spanyol. Gerakan ini mendapat tempat di Arab bagian Barat.
B.Rumusan Masalah
Dari beberapa dinasti kecil yang berada di bawah kekuasaan pemerintah pusat Dinasti Abbasiyah hanya dua yang akan coba penulis ulas yaitu Dinasti Samaniyah di Persia dan Dinasti Muwahhidun di Maroko dan Spanyol. Selain karena cakupan materi yang sangat luas dan perlu penjelasan detail juga menurut penulis kedua dinasti tersebut sudah mampu menjadi tolok ukur perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam dinasti-dinasti kecil pada masa Dinasti Abbasiyah. Pembahasan akan terfokus pada sejarah berdirinya dinasti, penguasa, keruntuhan, perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan masing-masing dinasti dan para tokoh atau ilmuannya. Juga analisis yang dapat diambil dan dapat diterapkan pada masa sekarang sehingga diharapkan mampu menjawab tantangan zaman bahwa Islam juga peduli terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan dari semenjak kelahiranya hingga masa sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Dinasti Samaniyah (209-395 H./819-1005 M.)
Dinasti ini berasal dari keturunan yang mulia dari Persia. Khalifah Al-Makmun mengakui keberadaan dan kemuliaan mereka sehingga salah seorang dari pemimpin mereka yang bernama Asad bin Saman diangkat menjadi pembantu khalifah. Empat orang anaknya juga bekerja pada khalifah Al-Makmun di Khurasan. Mereka bekerja dengan baik dan loyal terhadap khalifah sehingga mereka diangkat menjadi gubernur di empat propinsi. Nur diangkat menjadi gubernur di Samarkand, Ahmad di Farghana, Yahya di Syasy dan Ilyas di Heart. Disamping mendapat simpati dari khalifah, mereka juga mendapat simpati dari masyarakat. Mulanya yang menaruh simpati pada mereka adalah warga masyarakat yang berada di bawah kekuasaan mereka, akan tetapi karena kebaikan mereka, akhirnya simpati masyarakat menyebar ke seluruh wilayah Persia termasuk diantaranya daerah-daerah seperti Sijistan, Karman, Jurjan, Ray, Thabaristhan, Transoxiana dan Khurasan.
Salah seorang putera mereka yang bernama Natsir bin Ahmad diangkat menjadi gubernur untuk seluruh wilayah Transoxiana oleh Khalifah Al-Mu’tamid. Natsir bin Ahmad inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangun dinasti Samaniyah dengan menjadikan Samarkand sebagai pusat kekuasaannya. Sepeninggal Natsir bin Ahmad, kekuasaan dilanjutkan oleh saudaranya Ismail bin Ahmad. Di masa pemerintahannya ini, ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Khurasan. Ia juga berhasil menaklukkan Thabaristhan dan menyatukannya dengan Al-Ray. Maka dengan demikian, terpeliharalah batas-batas kekuasaannya di arah barat. Ia juga berhasil menguasai daerah Afghanistan dan daerah-daerah yang berada di perbatasan India. Akibatnya, Dinasti Samaniyah pada waktu itu menjelma menjadi dinasti terkuat di kawasan timur.
Walaupun dalam prakteknya Dinasti Samaniyah bersifat otonom, namun dinasti ini tetap loyal pada khalifah di Baghdad. Sementara itu, mereka juga diakui oleh khalifah sebagai penguasa wilayah Islam di bagian timur. Ada beberapa peranan penting yang dilakukan oleh dinasti ini sehingga ia memiliki kontribusi yang signifikan dalam perkembangan Islam seperti dalam bidang politik dan kebudayaan. Dalam bidang politik, mereka telah berhasil melindungi wilayah-wilayah strategis bagi pengembangan wilayah Islam di bagian timur serta mengembangkan Islam ke wilayah Turki. Sedangkan dalam bidang kebudayaan, dinasti ini telah menjadikan istananya di Bukhara sebagai tempat beraktualisasinya para ulama-ulama dan ilmuan. Setelah wafatnya Ismail bin Ahmad, dinasti ini dipimpin oleh penguasa-penguasa yang lemah. Mereka tidak mampu lagi mempertahankan keutuhan wilayah mereka. Sehingga satu persatu wilayah-wilayah yang berada dibawah kekuasaan Dinasti Samaniyah ini mulai melepaskan diri, sampai akhirnya pada tahun 395 H./ 900 M. dinasti ini runtuh.
Walaupun masa jayanya tidak lama, namun dinasti ini telah mengalami berbagai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan seperti dalam bidang tasawuf dengan munculnya beberapa ahli taswauf seperti Syauqi’ Al-Bakhi, ‘Umar bin Salim, Abu Thurab Al-Nakhsyabi, ‘Abu Ali Al-Jurjani. Sedangkan dalam bidang sastra, sejarah peradaban Islam mengenal nama-nama Al-Ba’lani dan Al-Jaithabi. Dalam bidang filsafat dan sains muncul nama-nama besar seperti Ibnu Sina, Abu Zaid Al-Bakhi, Abu Qasim Al-Ka’bi dan beberapa nama lainnya.
B.Dinasti Muwahhidun (524-667 H./1130-1269 M.)
Al-Muwahhidun pada awalnya merupakan gerakan keagamaan yang berkuasa di Maroko dan Spanyol. Gerakan ini mendapat tempat di Arab bagian Barat. Gerakan ini mengajarkan kesadaran bahwa dunia ini berada pada dimensi kesucian karena itu mereka menamakan gerakan mereka tersebut dengan al-Muwahhidun (penegak keesaan Tuhan).
Gerakan ini dipimpin oleh Ibn Thumar (470-521 H./1077-1130 M.), seorang keturunan Barbar dari suku Masmudah di pegunungan Atlas Maroko. Setelah menunaikan ibadah haji, beliau kemudian belajar di Damaskus dan Baghdad. Kemudian ia kembali ke Maroko dan kemudian mengembangkan teologi ‘Asyariyah dan pemikiran tasawuf Al-Ghazali. Ia merupakan penganut teologi ‘Asyariah yang sangat fanatik. Kelahiran gerakan yang dipelopori Ibn Thumar pada masa itu merupakan antitesa dari faham yang berkembang masa ini. Disamping itu, gerakan ini juga dilatarbelakangi oleh kondisi moral penguasa Murabithun yang telah mengalami dekadensi moralitas serta pendangkalan terhadap ajaran-ajaran agama Islam. Ibn Thumar mengklaim bahwa kebobrokan moral rakyat serta terdapatnya penyimpangan-penyimpangan moral ditengah-tengah masyarakat tersebut berkorelasi erat dengan moralitas penguasa Murabithun. Oleh sebab itu, menurutnya, jihad merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk menghancurkan Dinasti Murabithun.
Pada tahun 515 H./1121 M. Ibn Thumar mengklaim dirinya sebagai Al-Mahdi dan bertekad untuk mendirikan sebuah pemerintahan. Semenjak berhasil mengaku sebagai Al-Mahdi, ia mampu memikat suku Barbar Atlas yang telah menganut agama Islam, namun pengetahuan agama mereka masih dangkal. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Ibn Thumar adalah membuat komunitas pasukan agama. Dari sinilah kemudian ia menyerukan perang suci untuk menaklukkan daerah-daerah sekitarnya.
Kontak pertama yang terjadi dengan Dinasti Murabithun adalah ketika gubernur di Sus dengan pasukannnya menyerang suku Hargu yang membangkang, namun dapat dipukul mundur. Dengan kemenangan pertama ini, pasukan Al-Mahdi selanjutnya berkembang dengan pesat. Ia kemudian pindah ke dusun Timnal dan membangun pusat pemerintahannya yang pertama. Setelah ia meninggal, kekuasaan diambil alih oleh penggantinya Abdul Mun’im yang kemudian berhasil menaklukkan Afrika Utara sampai dengan padang pasir Libya. Ekspansi ini secara intensif berlangsung setelah Murabithun mengalami kelemahan. Tahun 566 H./1170 M umat Islam Spanyol jatuh ke tangan Muwahhidun. Sevilla dijadikan ibu kotanya untuk beberapa waktu, namun penguasanya sering ke Maroko dan menjalankan pemerintahan dari Marakesy.
Dalam perkembangannya, Dinasti Muwahhidun telah mengalami berbagai bentuk kemajuan dalam berbagai bidang, namun yang paling menonjol adalah ilmu pengetahuan, filsafat dan arsitektur. Pada masa ini telah bermunculan beberapa tokoh filsafat terkenal dalam khazanah intelektual Islam maupun dunia seperti Ibn Thufail (w. 585 H./1185 M.) dan Ibn Rusyd (w. 595 H./1195 M.) serta Ibnu ‘Arabi (w. 638 H./1240 M.). Seni pahat dan arsitektur juga berkembang pesat. Dinasti ini memperkenalkan seni arsitektur khas Islam Spanyol yang dapat dilihat dari bentuk-bentuk peninggalan masjid di Geraldo yang sekarang telah dirubah menjadi Kathedral Agung di Sevilla. Kemudian masjid Kutubbiyahdi Marakesy, masjid Hasan dan masjid Tlemcen di Rabat. Namun dinasti ini tidak bertahan lama, lebih kurang hanya selama satu setengah abad. Dinasti ini kemudian mengalami kemunduran dan sedikit demi sedikit digerogoti oleh penyerbuan ummat Kristen. Akhirnya dinasti ini kemudian digantikan oleh Dinasti Mariniyah.
C.Ananlisis dan Penerapanya Pada Masa Kini
Denagn adanya dinasti-dinasti-dinasti yang dependen (mandiri) pada masa Dinasti Abbasiyah telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberlangsungan Dinasti Abbasiyah. Tanpa kehadiran dinasti-dinasti kecil ini, besar kemungkinan eksistensi Dinasti Abbasiyah tidak akan berumur panjang.
Jika kita telaah dengan saksama maka pengaruh pemimpin adalah sangat signifikan terhadap kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dengan adanya penguasa Muslim yang mempunyai perhatian khusus kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan maka sudah hamper pasti perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan pada masa itu akan mengalami masa-masa kejayaan. Dengan demikian marilah kita pilih dan kita seleksi pemimpin Islam yang harus memimpin negeri ini kelak, jika tidak ada yang sesuai maka bersiaplah untuk memimpin negeri ini guna mewujudkan perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang mumpuni.
Telaah yang kedua dapat kita ambil dari sejarah berdirinya Dinasti Muwahiddun yaitu bermula dari rasa resah terhadap kondisi moral masyarakat ketika itu. Bermula dari gerakan keagamaan yang dipimpin oleh Ibnu Thumar ini, dan tentunya mendapatkan momentum yang pas sehingga dapat menjawab keresahan berbagai kalangan warga masyarakat ketika itu yang pada akhirnya mendapatkan simpati yang besar sehingga menjadi gerakan keagamaan yang besar yang mampu menumbangkan sebuah rezim yang berkuasa. Pada saat ini perlu kita analisis mengapa perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan kita semakin jauh tertinggal? Adakah yang salah? Tentunya ada dan marilah kita bersama-sama memperbaikinya.
Untuk mendapatkan simpati (dukungan) yang luas dari berbagai piha maka kita perlu mencari momentum yang tepat sehingga tidak terkesan mengada-ada dan mendapat dukungan konkrit dari berbagai pihak. Banyak harapan akan muncul dan berusalah memenuhi harapan tersebut sehingga akan menimbulkan kepercayaan publik. Perbaikan citra bahwa Islam tidak hanya bercerita tentang darah dan pedang perlu disosialisasikan agar persepsi masyarakat semakin maju dan mendukung apa yang dilakukan oleh umat Islam saat ini.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Kehadiran dinasti-dinasti-dinasti yang dependen pada masa Dinasti Abbasiyah telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberlangsungan Dinasti Abbasiyah. Tanpa kehadiran dinasti-dinasti kecil ini, besar kemungkinan eksistensi Dinasti Abbasiyah tidak akan berumur panjang.
Namun, kehadiran dinasti-dinasti kecil ini telah mampu memadamkan begitu banyak pemberontakan yang secara politis potensial dalam menggerogoti kewibawaan pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Aghlabiyah, misalnya, dalam sejarah Islam telah memiliki kontribusi besar dalam memadamkan pemberontakan rakyat di Tripoli, pemberontakan yang dipimpin oleh Hamdis, pemberontakan Ziyad bin Sahal, pemberontakan Ahmad, pemberontakan Mansyur ibn Nasyr, pemberontakan ‘Umar bin Salim, pemberontakan-pemberontakan lainnya yang umumnya banyak dipelopori oleh suku Barbar. Pemberontakan-pemberontakan yang berpotensi politis dan menghabiskan anggaran atau kas negara ini bisa diatasi oleh Dinasti Abbasiyah karena kontribusi dinasti-dinasti kecil tersebut yang secara hirarkis-politis masih menganggap Dinasti Abbasiyah sebagai “pusat pemerintahan mereka”.
Dalam bidang ekonomi, keberadaan dinasti-dinasti kecil ini telah memberikan kontribusi besar bagi Dinasti Abbasiyah untuk memeratakan perkembangan ekonomi daerah-daerah kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang sangat luas tersebut. Disamping itu, dinasti-dinasti kecil yang lahir dan berkembang tersebut telah mampu memastikan pendapatan bagi kas negara Dinasti Abbasiyah terjamin dan terjaga.
Disamping kontribusi dinasti-dinasti kecil tersebut dalam bidang ekonomi dan politik, kontribusi lainnya adalah kemampuan dinasti-dinasti kecil itu dalam menjaga tradisi intelektual dan peradaban Islam dengan baik. Dinasti-dinasti kecil ini dalam sejarah dianggap telah memberikan ruang untuk menumbuhkembangkan peradaban Islam dengan baik dan apresiatif. Jadi tidaklah mengherankan apabila dalam masa dinasti-dinasti kecil ini eksis, mereka telah mampu memfasilitasi zaman untuk melahirkan intelektual dan filosof-filosof besar Islam sekaliber Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, Ibn al-Na’im, Abu Farij al-Isfahan, al-Khaitami dan lain-lain. Dinasti-dinasti kecil ini juga dikenal sebagai dinasti-dinasti yang apresiatif dengan seni arsitektur. Jadi tidaklah mengherankan apabila pusat-pusat pemerintahan dinasti-dinasti kecil ini memiliki banyak bangunan-bangunan (terutama masjid) dengan arsitektur yang indah dan megah.
Sedangkan dalam bidang keagamaan, dinasti-dinasti kecil ini telah memberikan kontribusi besar dalam menyebarkan ajaran Islam ke daerah phery-phery. Tanpa adanya “perpanjangan tangan” Dinasti Abbasiyah (baca: dinasti-dinasti kecil), besar kemungkinan penyebaran Islam ke daerah-daerah pinggiran kekuasaan Dinasti Abbasiyah tidak mampu berjalan dengan baik dan dengan intensif sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti-dinasti kecil tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

C.E. Brosworth. Dinasti-dinasti Islam (The Islamic Dynasties). (Bandung: Penerbit Mizan, 1993)
Hassan, Ibrahim Hassan. Sejarah dan Kebudayaan Islam (Islamic History and Culture from 632-1968). (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989)
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007)
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat (History of Islamic Origins of Western Education AD 800 – 1350; with an Introduction to Medieval Muslim Education). Surabaya: Risalah Gusti, 2003)
Tim Pokja Akademik UIN. Sejarah Kebudayaan Islam. (Yokyakarta: Pokja Akademik UIN, 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar Anda disini,