Kamis, 21 April 2011

temporary marriage (nikah muth'ah)


TEMPORARY MARIAGE1
0leh: Much. Rikhan Fuadi


Pengertian
Nikah mut’ah sering disebut juga nikah muwaqqat. Nikah munqathi’ juga merupakan sinonim dari nikah mut’ah yang artinya adalah nikah untuk jangka waktu tertentu. Lamanya bergantung pada kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan yang akan menjalaninya, bisa sehari, seminggu, sebulan atau setahun, sesuai kesepakatan.
Kata mut’ah berasal dari kata mata’a yang berarti bersenang-senang.2 Selain batasan waktu yang menjadikanya berbeda dengan pernikahan biasa, ada perbedaan-perbedaan lainya yaitu:
a.Tidak saling mewarisi, kecuali bila ada kesepakatan
b.Lafazd ijabnya berbeda
c.Tidak ada talak
d.Tidak ada nafkah ‘iddah
Sejarah Kemunculanya
Kemunculan nikah mut’ah ditenggarai timbul disebabkan oleh hal-hal yang bersifat insidentil atau terjadi pada suatu ketika saja, seperti perjalanan jauh dan lain sebagainya. Di wilayah Arab, jarak satu wilayah dengan wilayah yang lain saling berjauhan, terhalang sahara yang panas dan gersang nan tandus, yang bila ditempuh melalui perjalanan darat dengan berjalan kaki atau naik unta akan membutuhkan waktu yang cukup relatife lama.
Dengan dasar pertimbangan keadaan, pada awalnya Rosulullah saw. memberikan kelonggaran dengan memberikan dispensasi melakukan mut’ah kepada pemuda Islam yang pergi ke medan perang untuk membela agama. Ditempat tersebut mereka jauh dari istrinya. Jauhnya jarak dan sulitnya medan serta kendala transportasi lainya menyebabkan perjalanan membutuhkan waktu yang relative lama. Oleh karena itu mereka diberi dispensasi untuk melakukan perkawinan sesaat. Setelah selesai tugas negara, mereka tidak lagi diperbolehkan melakukan hal tersebut, sebagaimana sabda Rosulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya:
“Rosulullah saw. telah memberikan keringanan pada tahun Authos untuk melakukan mut’ah tiga hari, setelah itu beliau melarangnya” (H.R. Muslim)
“Dari Ali ra., ia berkata, Rosulullah saw. telah melarang mut’ah pada tahun khaibar” (H.R. Bukhori dan Muslim)
“Dahulu aku mengizinkan engkau untuk melakukan nikah mut’ah dengan wanita-wanita. Sesungguhnya Allah swt. telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat, barang siapa melakukan itu, segeralah melepaskanya dan janganlah kamu mengambil apa-apa yang telah engkau berikan kepadanya” (H.R. Imam Muslim)
Pembolehan dan Pelaranganya
Menurut beberapa hadist tersebut diatas, penghapusan nikah mut’ah dilakukan Rosululloh saw. pada tempat dan waktu yang berbeda. Menurut ulama’, tempat dan waktu tersebut adalah pada Perang Khaibar, Umroh Qadha, Fathu Makkah, Perang Authos, Perang Tabuk dan Haji Wada’.
Menurut Imam Nawawi, pembolehan dan pelarangan nikah mut’ah terjadi dua kali yaitu:
1.Diperbolehkan pada Perang Khaibar yang kemudian diharamkan pada sesudahnya
2.Diperbolehkan pada Fathu Makkah, yaitu pada Perang Authos yang kemudian diharamkan setelah itu dan untuk selamanya.
Pendapat Imam Nawawi tersebut diikuti oleh sebagian besar ulama.3
Terjadinya perbedaan keterangan tentang batas waktu keharaman nikah mut’ah pada waktu yang berbeda, kemungkinan besar karena keraguan yang ada pada hati sebagian sahabat. Kemungkinan, adanya sahabat yang belum mendengar larangan tersebut sehingga mereka beranggapan bahwa nikah mut’ah diperbolehkan pada saat tertentu.

Perbedaan pendapat diantara ulama tentang status nikah mut’ah terbagi dalam dua golongan:
1.Golongan pertama, mengharamkan nikah mut’ah secara mutlak. Pendapat yang pertama ini adalah pendapat sebagian besar ulama. Mereka berdalil dengan ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam surat Al-Mu’minun yang artinya adalah:
“dan orang-orang yang menjaga kehormatanya, kecuali terhadap istri-istri mereka dan sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barang siapa yang mencari dibalik itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”4
Menurut golongan ini, kebolehan melakukan hubungan seks hanya boleh dengan dua cara yaitu: 1) dengan istri-istri mereka, dan 2) tasarri, yaitu dengan hamba sahaya yang mereka punyai.
Menurut jumhur ulama, nikah mut’ah tidak dapat dikategorikan kedalam dua cara tersebut. Mut’ah bukan nikah dan bukan hamba sahaya. Maka, jumhur ulama menganggap mut’ah sebagai perbuatan haram yang perlu ditinggalkan karena telah melampaui batas.
2.Golongan kedua, menghalalkan secara mutlak. Pendapat ini didukung oleh Ashmah binti Abu Bakar, Ibnu Mas’ud dan golongan Syiah Imamiyah. Mereka juga berdalil dari ayat dalam surat Al-Qur’an yang artinya:
“dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (ayat ini lanjutan dari ayat tentang wanita-wanita yang diharamkan), yaitu mencari istri dengan hartamu bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) maka berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban” 5
Ayat yang menunjukan kehalalan mut’ah, menurut mereka, adalah yang berbunyi: “untuk mencari istri-istri dengan hartamu, untuk dikawini bukan untuk berzina”. Menurut mereka, kata “an-tabtaaghu biamwalikum” (mencari dengan hartamu), mengandung arti dua kemungkinan. Pertama, mengambil untuk masa yang tidak terbatas, yaitu yang sering kita sebut sebagai nikah pada umunya. Kedua, mengambil untuk masa tertentu, yaitu mut’ah. Dari penafsiran ayat tersebut, mereka menggolongkan mut’ah kepada golongan kedua, dan mereka menganggapnya halal.
Didalam Al-Qur’an sendiri, masalah mut’ah ini tidak tertera secara eksplisit. Namun, apabila kita mengambil pemahaman dari semangat ayat-ayat Al-Qur’an tentang maksud dan tujuan perkawinan, hikmah-hikmahnya dan sebagainya, dapat kita simpulkan bahwa perkawinan yang sifatnya sementara bertentangan dengan ajaran Islam. Apalagi kalau kita lihat, bahwa mut’ah tersebut dapat merusak peradaban dan bertentangan dengan etika kemanusiaan. Disamping itu, dapat melonggarkan sendi-sendi moral serta menghilangkan tanggungjawab dan mengotori maksud mulia dari perkawinan.
Yang dapat kita tangkap daru mut’ah itu tidak lebih dari pemuasan hawa nafsu. Tidak sedikitpun tersirat adanya itikad baik, seperti ta’abbud, maksud ibadah kepada Tuhan, Allah swt., tolong menolong antara suami istri dan lain-lain, sebagai bagian dari tujuan perkawinan Islam. Oleh karena itu, sangat pantas kiranya kalau jumhur ulama mengharamkanya.

Masih adakah pada zaman sekarang?
Perkawinan yang sifatnya sementara, walaupun bukan dinamai mut’ah, banyak terjadi pada masyarakat pedalaman Sumatra dan Kalimantan serta daerah-daerah lain yang banyak hutannya. Ditengah belantara hutan, para pendatang/pekerja pendatang terisolasi dari istri-istri mereka. Banyak diantara pekerja pendatang tersebut yang melakukan perkawinan dengan wanita-wanita penduduk sekitar, para wanita penduduk sekitarpun mau karena tergiur dan terpikat kepada para pekerja pendatang yang pada umumnya menggunakan system kerja kontrak, karena gaji merka sangat besar. Secara ekonomis wanita-wanita tersebut bisa terangkat. Namun, ketika masa kerja pekerja kontrakan tadi habis atau berakhir, dan mereka harus hengkang dari daerah tersebut, maka wanita-wanita tersebut kembali ke asalnya. Seperti halnya mut’ah, perkawinan yang dilakukan para pekerja kontrak tersebut, meninggalkan banyak problem sosial, banyak anak yang menjadi yatim, yang kehilangan perlindungan orang tuanya, dan pada saatnya nanti ini akan mengakibatkan problem sosial yang lebih panjang dan rumit.

2 komentar:

silahkan komentar Anda disini,